( Ziarah ke makam ibu, di makam ”Astana Bibis Luhur” Solo 02 Juni 2011
)
Ibu…. Kami datang ke Pusara
Entah ibu dimana, aku berharap didalam surga NYA
Pusara ini hanya sebagai pengingat, jasadmu terbaring,
setelah mengantar anakmu dewasa, dengan doamu yg mengiring.
Ibu, kalau aku bisa memutar waktu,
Aku akan lebih membahagiakanmu diwaktu hidupmu.
Aku akan menemanimu di kesepianmu
Aku akan menggembirakanmu di kesedihanmu
Aku akan meluangkan waktu untukmu,
dan aku akan lebih menyanyangimu.
( Sekarang aku hanya bisa berdoa : Allaahummag firlii waliwaa lidayya warham
humaa kamaa rabbayaanii shagiiraa : Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua
orang tuaku, sayangilah Ibu Bapakku, sebagaimana mereka menyayangi diriku
selagi kecil….Amiin Yaa Rabbal Alamiin)
Mungkin agak sentimentil………
Memang! Karena sebelum berangkat ke Solo ziarah ke makam ibu, kakakku
menggamit tanganku menyisipkan selembar kertas sambil berkata : “ Ini kamu
baca! Kebetulan beberapa hari yang lalu aku mambacanya di majalah, dan
kubuatkan copynya untukmu….”
Ternyata sebuah puisi. Mungkin bukan puisi, tetapi “surat”. Kata kakakku,
Surat/Puisi itu adalah bagian dari cerita yang dibacanya di suatu majalah (
Bahasa Inggris).
Disitu diceritakan ketika seorang anak membersihkan almari ibunya yang
meninggal, dia menemukan coretan tulisan ibunya yang berbunyi seperti ini :
The Time is Now
If you are ever going to love me,
Love me now while I can know
The sweet and tender feelings
Which from true affection flow,
Love me now while I am living,
Do not wait until I’m gone
And then have it chiseled in marble,Sweet words on ice-old stone.
If you have tender thoughts of me,
Please tell me now.
If you wait until I m sleeping,
Never to awaken,
There will be death between us,
And I won’t hear you then.
So, if you love me, even a little bit,
Let me know it while I am living
So I can treasure it.
Almarhum Ibu adalah seorang wartawati?
Jarak umurku dengan almarhum ibu cukup jauh, yaitu 33 tahun, dan aku adalah anak
ke lima dari enam bersaudara. Karena jarak yang cukup jauh itu, aku tidak banyak
tahu apa saja kegiatan ibuku di usia –usia muda perkawinannya. Yang aku tahu,
ketika aku mulai bisa memahami lingkungan sekitar, ibu adalah orang yang aktif
di kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Beliau aktif di organisasi Wanita Islam
Solo, sebagai wakil ketua (Dimana ketuanya adalah Ibu Hj Gito Sardjono, ibunda
dari Dr H. Sulastomo). Beliau juga pernah menjadi Ketua Wanita Islam Kec
Banjarsari, Wk Ketua Aisyiah, Wk Ketua Perwari, Wk Ketua BP4 (Badan Penasehat
Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian) dan Pengurus Koperasi Konsumsi Jageran
).Beliau juga mendirikan TK Bhakti di Kampung Cengklik dan kampung
Kadipiro.
Tapi bahwa Ibuku juga pernah menjadi seorang penulis, aku hanya mendengar
samar-samar dari kakak sulungku, dan aku agak sedikit meragukannya.Mungkin
karena itu sudah dizaman yang lampau, dan aku tidak pernah mengetahuinya.
Tapi bahwa akhir-akhir ini bertemu dengan beberapa kenalan, juga bekas
tetangga dulu di Solo, dan mereka bilang foto ibu ada di Majalah Panjebar
Semangat di Monumen Pers Nasional Solo, agak menghentakku juga. Orang lain
sudah pada melihat foto ibu yang jadul ( jaman dulu) sedang aku yang anaknya
malah sama sekali belum pernah ke Monumen Pers Nasional.
Aku samar-samar ingat, informasi ini sebenarnya pernah kudengar juga,
bahkan dari ibuku langsung , yang bilang bahwa beliau mendengar dari
beberapa temannya dulu kalau fotonya /tulisannya yang di majalah
Panjebar Semangat ada di Monumen Pers. Namun karena kesibukan, atau
mungkin juga kurang perhatian (karena ibu sendiri tidak pernah secara
terbuka menyatakan keinginannya untuk pergi kesana) sehingga kami
anak-anaknya tidak pernah ada yang berpikir untuk mengantarnya
kesana,sampai ibu meninggal. Kami semakin beranjak tua, kenang-kenangan
dengan ibu almarhum semakin sering menggugah perasaan kami.
Maka aku, adikku dan kakakku memutuskan untuk ke solo dan malacak jejak ibu…….
(Akhirnya, sesudah dari makam ibu, lalu
berkunjung ke
Monumen Pers Nasional Solo 03 Juni 2011)
Hari sudah menjelang sore, dan museum sebentar lagi tutup. Dengan
tergesa-gesa kami menjelajahi musem……Dimana jejak ibu…??
(Menurut kakakku, ibu mulai menulis ketika umurnya sekitar 20 tahunan, dan sudah menjadi ibu rumah tangga. Kalau ibu lahir di th 1919 maka berarti mulai ada di Majalah Panjebar Semangat th 1939-1940 an)
Kami sampai didepan etalase yang memajang bundelan majalah-majalah kuno Panjebar Semangat. Dengan izin petugas museum kami mengambil bundelan Majalah Panjebar Semangat tahun 1939. Dengan antusias kami membuka buka lembaran demi lembaran majalah tersebut. Dan tiba-tiba dalam satu lembaran, kami melihat foto ibu. Memang masih sangat muda, tetapi kami hafal dengan wajah ibu. Disitu ditulis informasi tentang ibu, dan di lembaran berikutnya adalah tulisan perdana ibu.. Namun karena sudah sore dan museum segera tutup, maka kami hanya sempat untuk meng copy tulisan ibu yang perdana
Aku merasa bangga diusianya yang masih sangat
muda, terlebih dijaman sebelum kemerdekaan ibu sudah menulis di majalah
(Panjebar Semangat), dimana ada beberapa penulis lainnya yang kemudian menjadi
tokoh nasional seperti Maria Ulfa dan SK Trimurti. Ibu, walaupun hanya tamatan
SR( sekarang SD), namun seorang yang otodidak (belajar sendiri). Hobi ibu
adalah membaca. Tiada hari tanpa membaca, baik membaca koran ataupun buku-buku
berat lainnya, seperti buku tentang ekonomi, politik, sejarah dan
lain-lainnya. Dan beruntung hobi ayahku pun sama, sehingga mereka sangat cocok.
Ayah dan ibuku di makamkan di astana bibis luhur Solo
Ayah dan ibuku di makamkan di astana bibis luhur Solo
Aku sungguh menyesal! Ketika Monumen Pers dibangun, dan ibu masih hidup, aku
belum sempat mengajaknya kesana, sampai ibu meninggal………Alangkah senangnya
beliau kalau melihat foto dan tulisan2nya dimajalah Pajebar Semangat dulu
ada di Monumen Pers Solo.
Begitulah kehidupan.
Seorang anak , siapapun dia, ketika orang tuanya sudah meninggal pasti akan
selalu merasa pernah mengabaikan kesempatan-kesempatan yang sebenarnya bisa
lebih membahagiakan orang tuanya.
blog ratna habsari, Juli 2011